Saturday, December 21, 2013

makalah ilmu rasmul Qur'an



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Rasmul qur’an merupakan salah satu bagian disiplin ilmu alqur’an yang mana di dalamnya mempelajari tentang penulisan Mushaf Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam penulisan lafal-lafalnya maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakan. Rasimul Qur’an dikenal juga dengan nama Rasm Utsmani.
Tulisan al-Quran ‘Utsmani adalah tulisan yang dinisbatkan kepada sayyidina utsman ra. (Khalifah ke III). Istilah ini muncul setelah rampungnya penyalinan al-Quran yang dilakukan oleh team yang dibentuk oleh Ustman  pada tahun 25H. oleh para Ulama cara penulisan ini biasanya di istilahkan dengan “Rasmul ‘Utsmani’. Yang kemudian dinisbatkan kepada Amirul Mukminin Ustman ra.
Para Ulama berbeda pendapat tentang penulisan ini, diantara mereka ada yang berpendapat bahwa tulisan tersebut bersifat taufiqi (ketetapan langsung dari Rasulullah), mereka berlandaskan riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah menerangkan kepada salah satu Kuttab (juru tulis wahyu) yaitu Mu’awiyah  tentang tatacara penulisan wahyu. diantara Ulama yang berpegang teguh pada pendapat ini adalah Ibnul al-Mubarak dalam kitabnya “al-Ibriz” yang menukil perkataan gurunya “ Abdul ‘Aziz al-Dibagh”, “bahwa tlisan yang terdapat pada Rasm ‘Utsmani semuanya memiliki rahasia-rahasia dan tidak ada satupun sahabat yang memiliki andil, sepertihalnya diketahui bahwa al-Quran adalh mu’jizat begitupula tulisannya”. Namun disisi lain, ada beberapa ulama yang mengatakan bahwa, Rasmul Ustmani bukanlah tauqifi, tapi hanyalah tatacara penulisan al-Quran saja.
Makalah yang kami buat untuk membahas tentang pengertian Rasm Al-Qur’an, dan tentang sejarah, pola, kedudukan hokum rasmul qur’an dan bagaimana perkembangannya serta bagaimana kaidah-kaidahnya, untuk lebih jelasnya pada bab selanjutnya akan dibahas secara terperinci.

 B. Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Rasmul Qur’an ?
2.      Bagaimana sejarah perkembangan rasmul qur’an ?
3.      Bagaimana pola, dan kedudukan hukum serta pendapat para ulama‘ mengenai rasmul qur’an ?
4.      Bagaimana kaidah-kaidah rasmul qur’an ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Rasmul Qur’an

Rasm Al Qur’an yaitu penulisan mushaf Al-qur’an yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam penulisan lafal-lafalnya maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakannya[1].
Sejak awal hingga akhir turunnya, seluruh ayat Al-Quran telah ditulis dan didokumentasikan oleh para tulis wahyu yang ditunjuk oleh Rasulullah SAW. [2] Disamping itu seluruh ayat Al-Qur’an dinukilkan atau diriwayatkan secara mutawattir baik secara hafalan maupun tulisan ditulis dan dibukukan dalam satu mushaf.
Penulisan Al-qur’an pada masa Nabi SAW dilakukan oleh para sahabat-sahabatnya. Nabi juga membentuk tim khusus untuk sekretaris (juru tulis) Al-qur’an guna mencatat setiap kali turun wahyu. Diantara mereka ialah; zaid binTsabit, Ubai bin Ka’ab dan Tsabit bin Qais[3]

B.     Sejarah perkembangan Rasmul Qur’an

            Telah diketahui bahwa pengumpulan al-qur’an pada masa Rasulullah SAW, dilakukan dengan dua cara, yaitu :
1.      pengumpulan dalam dada dengan cara menghafal, dan
2.      pengumpulan dalam wujud tulisan, yaitu menulis dan mengukirnya.

Penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi adalah penyusunan surah dan ayat secara sistematis, namun belum terkumpul dalam satu mushaf melainkan dalam keadaan terpisah pisah.
            Dalam proses penulisan di zaman Rasulullah SAW. Yang menulis Al-Quran  yaitu Abu bakar, Umar, Usman, Ali, Abban Bin Said, Khalid Bin Walid, dan Muawiyah Bin Abi Sofyan[4]. Setiap kali menerima wahyu Rasulullah SAW, memanggil para sekertarisnya untuk menulis wahyu yang  baru diterimanya
   Di zaman khalifah Abu Bakar, Allah SWT menggerakkan kaum muslimin terhadap kebaikan ini pada waktu perang yamamah karena banyaknya para qura’ yang terbunuh, maka Umar Bin Khattab dengan segera pergi ketempat Abu Bakar yang saat itu menjabat sebagai khalifah. Karena Umar khawatir meninggalnya para qura’ di tempat-tempat lain sebagaimana perang yamamah, sehingga kaum muslimin kehilangan pedoman agama Islam dan sulit akan memperolehnya kitab mereka.
       Umar mendiskusikan kepada Abu Bakar tentang rencana pengumpulan al-qur’an, setelah umar menguraikan sebab-sebab yang melatar belakanginya, Abu Bakar diam mempertimbangkanya. Kemudian Abu Bakar dan mengutus zaid Bin Tsabit, salah seorang penulis wahyu disaman Rasulullah. Maka datanglah Zaid Bin Tsabit kemajlis Abu Bakar dan Umar, mendengarkan mereka berdua tentang Al-Qur’an; lalu zaid menyetujuinya. Dan ketika Abu Bakar mendapati tanggapan positif dari Zaid, beliau berkata: “Sesungguhnya kamu pemuda cerdas, dulu kamu telah menulis wahyu untuk Rasulullah, maka telitilah al-qur’an dan kumpulkanlah”.
       Terus meneruslah Zaid meneliti Al-Quran dengan mengumpulkan dan menulisanya dan Zaid sendiri orang yang hafal Al-Qur’an, sehingga hafalanya itu sedikit mengurangi bebannya namun demikian zaid tidaklah mencukupkan dengan hafalanya dalam menetapkan ayat yang terdapat perselsihan kecuali dengan saksi[5]. Begitu pula dalam melaksanakan amanah menulis Al-Qur’an tidak mengandalkan hanya hafalannya saja atau melalui pendengaranya saja akan tetapi bertitik tolak dari pada penyelidikan yang mendalam dari dua sumber, yakni:
  1. sumber hafalan  yang tersimpan dalam dada hati para sahabat, dan
  2. sumber tulisan yang ditulis pada zaman Rasulullah SAW.

C. Pola dan kedudukan hukum serta pendapat ulama tentang rasmul Al-Quran 
Kedudukan rasm Usmani diperselisihkan para ulama, apakah pola penulisan merupakan petunjuk Nabi atau hanya ijtihad kalangan sahabat. Adapun pendapat mereka adalah sebagai berikut:
1. Kelompok pertama (jumhur ulama) bahwa pola rasm Usmani bersifat taufiqi dengan alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan dipercaya Nabi SAW. Pola penulisan tersebut bukan merupakan ijtihad para sahabat,Nabi, dan para sahabat tidak mungkin melakukan kesepakatan (ijma) dalam hal-hal yang bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi. Bentuk-bentuk inkonsentensi didalam penulisan baku, tetapi dibalik itu ada rahasia yang belum dapat terungkap secara keseluruhan. Pola penulisan tersebut juga dipertahankan para sahabat dan tabi’in.[6]
Dengan demikian, menurut pendapat ini hukum mengikuti rasm Usmani adalah wajib, dengan ala an bahwa pola tersebut merupakan petunjuk Nabi, (taufiqi). Pola itu harus dipertahankan meskipun beberapa diantaranya menyalahi kaidah penulisan yang telah dibukukan. Bahkan Imam Ahmad Ibnu Hambal dan Imam Malik berpendapat bahwa haram hukumnya menulis Al-Qur’an menyalahi rasm Usmani. Bagaimanapun, pola tersebut sudah merupakan kesepakatan ulama mayoritas (jumhur ulama.
2. kelompok kedua berpandapat, bahwa pola penulisan didalam rasm Usmani tidak bersifat taufiqi, tetapi hanya bersifat ijtihad para sahabat. Tidak ditemukan riwayat  Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Diantara yang berkata demikian adalah Abu Bakar Al-Baqillani (wafat pada th. 403 H) dalam kitabnyaAl- Ikhtisar. Beliau berkata:
“Maka Allah Adapun bentuk tulisan tidak memfardukan sesuatu atas ummat pada bentuk tulisan itu, karenanya tidaklah diharuskan penulis-penulis Al-Quran dan ahli-ahli khath yang menulis mushaf mengikuti suatu rasm saja, tidak boleh yang lain, lantaran mewajibkan yang demikian itu haruslah dengan dalil taufiqi. Taka ada dalam nash-nash  Al-Qur’an dan tak ada pula dalam mafhumnya bahwasanya rasm Al-Qur’an dan dhabitn harus dengan cara-cara tertentu, batas yang tertentu, tidak boleh dilampaui. Tak ada pula didalam nash hadist yang mewajibkan yang demikian. Tak ada pula dalam ijma ummat dan tak ada pulayang ditunjuki yang demikian oleh qiyas-qiyas syar’i. bahkan sunnah menunjukkan kepada kita boleh rasamkan Al-Qur’an dengan mana yang mudah. Karena Rasulullah tidak menerangkan kepada para penulis cara yang harus ditempuh dalam menulis mushaf tidak pula melarangnya. Oleh karena itu berbeda-beda dalam tulisan mushaf. Ada diantara mereka orang yang menulis kalimat menurut makhraj huruf. Ada  diantara yang menambah dan mengurangi, karena dia mengetahui demikian itu adalah istilah. Karena itu, bolehlah ditulis dengan huruf-huruf kufah dan hath pertama dan boleh dijadikan lam berupa kaf dan dibengkokkan alif, dan boleh pula ditulis dengan cara-cara yang lain, boleh ditulis dengan khath dan hijaiyyah baru”
Ringkasnya, segala orang yang mengatakan bahwa wajib atas manusia menempuh rasm yang satu, wajiblah dia menegakkan hujjah untuk membuktikan kebenaran dakwahnya[7]
3. kelompok ketiga mengatakan, bahwa Al-Qur’an dengan rasm imla’i dapat dibenarkan, tetapi khusus bagi orang awam. Bagi para ulama atau yang memahami rasm  Usmani tetap wajib mempertahankan keaslian rasm tersebut. Pendapat diperkuat Al-Zarqani dengan mengatakan bahwa rasm imla’i diperlukan untuk menghindarkan ummat dari kesalahan membaca Al-Qur’an, sedangkan rasm Usmani di perlukan untuk memelihara keaslian mushaf Al-Qur’an[8].
Tampaknya, pendapat yang ketiga ini berupaya mengkompromikan antara dua pendapat terdahulu yang bertentangan. Disatu pihak mereka ingin melestarikan rasm Usmani, sementara dipihak lain mereka menghendaki dilakukannya penulisan Al-Qur’an dengan rasm imla’i untuk memberikan kemudahan bagi kaum muslimin yang kemungkinan mendapat kesulitan membaca  Al-Qur’an dengan rasm Usmani. Dan pendapat ketiga ini lebih moderat dan lebih sesuai dengan kondisi ummat. Memang Usmani. Namun demikian, kesepakatan para penulis Al-Qur’an dengan rasm Usmani harus diindahkan dalam pengertian menjadikannya sebagai rujukan yang keberadaannya tidak boleh hilang dari masyarakat Islam. Sementara jumlah ummat Islam dewasa ini cukup besar yang tidak menguasai rasm Usmani. Bahkan, tidak sedikit jumlah ummat Islam untuk mampu membaca aksara arab. Mereka membutuhkan      tulisan lain untuk membantu mereka agar dapat membaca ayat-ayat Al-Qur’an, seperti tulisan latin. Namun demikian Rasm Usmani harus dipelihara sebagai  standar rujukan ketika dibutuhkan. Demikian juga tulisan ayat-ayat Al-Qur’an dalam karya ilmiah, rasm Usmani mutlak diharuskan karena statusnya sudah masuk dalam kategori rujukan dan penulisannya tidak mempunyai alasan untuk mengabaikannya.
Dari ketiga pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa menjaga keotentikan Al-Qur’an tetap merujuk kepada penulisan mushaf Usmani. Akan tetapi segi pemahaman membaca Al-Qur’an bisa mengunakan penulisan yang lain berdasarkan tulisan yang diketahui ummat Islam. Namun tidak lepas dari subtansi tulisan mushaf Usmani. Sebab berdasarkan sejarah dalam proses penulisan Al-Qur’an mulai dari Zaman Rasulullah, zaman khalifah Abu Bakar sampai khalifah Usman Bin Affan yang penulisnya tidak pernah lepas dari Zaid Bin Tsabit yang merupakan sekertaris Rasulullah SAW. Secara historis ini membuktikan bahwa Allah SWT tetap menjaga dan memelihara keotentikan Al-Qur’an.

  1. Kaidah-Kaidah Rasmul Usmani   
Musahaf Usmani ditulis menurut kaidah-kaidah tulisan tertentu yang berbeda dengan kaidah tulisan imlak. Para ulama merumuskan kaidah-kaidah tersebut menjadi enam istilah[9] :            


a)       Al–Hadzf(membuang,menghilangkan,atau meniadakan huruf). Contohnya, menghilangkan huruf alif pada ya’ nida’ (يَََآَ يها النا س ).
b)      Al – Jiyadah (penambahan), seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang mempunyai hokum jama’ (بنوا اسرا ئيل ) dan menambah alif setelah hamzah marsumah (hamzah yang terletak di atas lukisan wawu ( تالله تفتؤا).
c)      Al – Hamzah, Salah satu kaidahnya bahwa apabila hamzah ber-harakat sukun, ditulis dengan huruf ber-harakat yang sebelunya, contoh (ائذن ).
d)     Badal (penggantian), seperti alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan pada kata (الصلوة).
e)      Washal dan fashl(penyambungan dan pemisahan)
Yang dimaksud disini adalah metode penyambungan kata (dalam bahasa Arab disebut huruf, jadi penyambungan dua huruf) yang mengakibatkan hilang atau dibuangnya huruf tertentu. seperti kata kul yang diiringi dengan kata ma ditulis dengan disambung ( كلما ).
f)       Kata yang dapat di baca dua bunyi.
Suatu kata yang dapat dibaca dua bunyi,penulisanya disesuaikan dengan salah salah satu bunyinya. Di dalam mushaf ustmani,penulisan kata semacam itu ditulis dengan menghilangkan alif, contohnya,(ملك يوم الدين ). Ayt ini boleh dibaca dengan menetapkan alif(yakni dibaca dua alif), boleh juga dengan hanya menurut bunyi harakat(yakni dibaca satu alif).









BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Berdasarkan dari uraian diatas maka penulis dapat mengambil kesimpulan antara lain:
1.      Rasm Al Qur’an yaitu penulisan mushaf Al-qur’an yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam penulisan lafal-lafalnya maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakannya.
2.      Proses perkembangan penulisan Al-Quran dari zaman Rasullullah SAW, sampai Khalifah Usman Bin Affan keotentikan Al-Quran masih tetap terpelihara dan terjaga sebab, salah satu sekertaris penulis Al-Qur’an di Zaman Rasullah, Zaid Bin Tsabit tidak pernah lepas dari perannya sebagai penulis baik di zama Abu Bakar maupun di zaman Usman bin Affan. Ini membuktikan bahwa Allah selalu dan senatiasa memelihara Al-Qur’an.
3.      Rasm Usmani mempunyai beberapa  kaida-kaidah antara lain :
 a. Kaidah buang (Al_Hadzf)
 b. Kaidah panambahan (Al-Ziyadah)
 c. Kaidah hamzah (Al-Hamzah)
 d. Kaidah penggantian (Al-Badal)
 e. Kaidah sambung dan pisah (Washl Wa A-Fashl).
 f. Kata yang dapat dibaca dua bunyi
  1. Saran
Mungkin masih banyak kesalahan dari penulisan kelompok kami, karena kami manusia biasa  tempat salah dan dosa dan kami juga butuh saran/ kritikan agar bisa menjadi motivasi untuk pembuatan makalah selanjutnya. Kami juga mengucapkan terima kasih atas dosen pembimbing mata kuliah Ulumul Qur’an ibu Dra. Hj Noor Rosyidah M.Si yang telah memberi kami tugas kelompok demi kebaikan diri kita sendiri dan untuk  bangsa, Negara dan Agama.


DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. 1992. Seluk Beluk Al-Qur’an,  Jakarta: Rineka Cipta.
AF, Hasanuddin. 1995 Anatomi Al-Quran Perbedaan dan Pengaruhnya Terhadap  Istimbath Hukum  Dalam Al-Qur’an, Cet, I; Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Ahmad, Syadzali dan Ahmad Rofii. 2000. Ulumul Qur’an II, Bandung: Pustaka setia.
Al -Abyari, Ibrahim. 1993. Sejarah Al-Qur’an, Cet. I; Semarang: Dina Utama.
Anwar, Rosihan. 2005. Ilmu Tafsir, Cet. 3; Bandung: Pustaka Setia.
Anwar, Rosihan. 2006. Ulumul Qur’an,  Bandung: Pustaka Setia.
Ash Shiddieqy, Hasbi. 1998. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an: Media-media Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur’an, Cet, II; Jakarta: PT Bulan Bintang.
Shihab, M. Quraish, dkk. 2001, Sejarah  dan Ulum Al-Qur’an, Cet. III; Jakarta: Pustaka Firdaus.



[1] Syadzali, Ahmad dan Rofii, Ahmad.Ulumul Qur’an II. Bandung: Pustaka setia. 2000 Hal. 21
[2] Hasanuddin AF, Anatomi Al-Quran Perbedaan dan Pengaruhnya Terhadap  Istimbath Hukum  Dalam Al-Qur’an (Cet, I; Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1995), hal 2.
[3] Syadzali, Ahmad dan Rofii, Ahmad, Op.Cit.
[4] Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir, Cet. 3; Bandung: Pustaka Setia, 2005, hal 41.
[5] Ibrahim Al -Abyari, Sejarah Al-Qur’an Cet. I; Semarang: Dina Utama, 1993, hal. 69-70.
[6] M.Quraish Shihab, dkk, Sejarah  dan Ulum Al-Qur’an (Cet. III; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hal. 95
[7] Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an: Media-media Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur’an (Cet, II; Jakarta: PT Bulan Bintang, 1998), hal. 163-164.
[8] M.Quraish Shihab, Op.Cit, hal. 89.
[9] Rosihan Anwar. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Setia. 2006 hal. 50-52